Pada zaman dahulu di kerajaan Demak hidup seorang pangeran. Namanya
Raden Made Pandan. Disamping sebagai bangsawan kerajaan ia juga dikenal
sebagai seorang ulama atau ahli agama Islam yang cukup disegani
berbagai kalangan masyarakat.
Dia mempunyai seorang putra bernama Raden Pandanarang. Raden Pandanarang dikenal sebagai anak yang baik, sopansantun, ramah dan hormat kepada kedua orang tuanya.
Pada suatu hari Raden Made Pandan mengajak puteranya dan beberapa
pengiring pergi dari wilayah kesultanan Demak. setelah beberapa hari,
sampailah mereka di tempat yang subur.
Di sana mereka mendirikan rumah .
Raden Made Pandan juga mendirikan pondok pesantren dan mengajarkan agama Islam ditempat itu.
Pada suatu hari Raden Made merasa bila akan menghadap Allah, maka ia berwasiat kepada putranya.
“anakku, jika aku mati, teruskanlah perjuangan kita menyebarkan
agama islam. jangan sekali-kali kau tinggalkan daerah ini. berpegang
teguhlah kepada ajaran para wali. insyallah kelak hidup mu menjadi
mulia, selamat dunia akhirat.”
Pesan itu selalu terngiang di teliga Raden Pandanarang.
Setelah ayahnya meninggal dunia, ia terus melanjutkan perjuangannya mengajarkan agama islam.
Pada suatu hari ketika menggarap sawah Raden Pandanarang dan
pengikutnya melihat suatu keanehan. di atas tanah yang subur
disela-sela pepohonan yang hijau nampak beberapa pohon asam tumbuh
saling berjauhan atau jarang-jarang. Semua orang merasa heran melihat
jarak antara pohon asam yang satu dengan yang lainnya. Raden Pandanarang
berkata ,”mengapa pohon asam itu tumbuh berjauhan, padahal tanah di
sini subur. Mestinya pohon-pohon asam itu tumbuh berdekatan. “ benar
raden…..!” sahut beberapa orang pengikutnya. “memang ini hal yang tak
lazim terjadi, sangat aneh.”
Raden Pandanarang berkata lagi .” kalau begitu daerah ini ku namakan semarang yaitu dari kata asem yang jarang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar